Erupsi.com, LANGKAT – Dengan secangkir teh di meja, Deriati Rangkuti duduk tenang menikmati sore yang mulai berganti menjadi petang.
Perempuan berusia 78 tahun ini masih berharap, setidaknya ada satu pelanggan yang datang ke warung nasinya.
Sebab semua sudah jauh berbeda. Mengais rezeki di Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tidak semudah dulu.
Di balik sorot mata Deriati yang lelah menanti pelanggan, terselip cerita pilu. Mata itu menjadi saksi atas tragedi yang terjadi 2 dekade lalu. Saat gelombang air, lumpur hingga kayu menggulung habis bantaran sungai dan sekitarnya.
Malam Ramadan 1423 Hijriah yang tenang seketika menjadi lautan tangis bercampur darah. Hotel-hotel hancur diterjang air setinggi 5-8 meter dari permukaan sungai.
Sebanyak 80 orang hilang dan 154 jiwa, termasuk turis asing, ditemukan tewas. Di antara mereka adalah pemuda bernama Dani. Air mata Deriati tak kuasa menetes tatkala mengenang nasib anak kandungnya tersebut.
“Sampai sekarang nenek teringat anak nenek yang sudah tidak ada itu, hanyut dia,” kata Deriati kepada Erupsi, Senin (28/11/2022).
Penemuan Danau Besar
Deriati tak menyangka. Omongan anaknya terbukti benar. Beberapa hari sebelum banjir bandang Bukit Lawang, Dani pernah mengajak ibunya pindah dari bantaran sungai.
Dia khawatir setelah mendengar cerita seorang penangkap ikan. Konon, terdapat danau besar yang tiba-tiba terbentuk di hulu sungai.
“Dulu dia ajak kami pindah dari Bukit Lawang. Katanya ada tukang cari ikan lihat danau besar di atas. Kalau danau itu pecah, habis semua kita,” ujar Deriati mengenang perkataan anaknya.
Deriati bukan tak mau menuruti permintaan Dan. Namun dengan segala keterbatasan, pindah rumah mustahil dilakukan saat itu.
“Jadi saya bilang, mau kemana lagi kita pindah? Tempat kita tidak ada lagi, cuma di sini. Dia (Dani) sudah 2 kali minta supaya pindah,” kata Deriati.
Hari berganti. Dani, satu dari sembilan anaknya, baru saja pulang menunaikan salat tarawih di masjid. Kebetulan, itu hari kedelapan Bulan Suci Ramadan.
Detik-detik Banjir Bandang Bukit Lawang
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar. Air sungai menjadi keruh, debit membesar. Ternyata, apa yang diceritakan sang pencari ikan bukan danau besar.
Melainkan suatu bendungan yang terbentuk alami akibat hambatan banyak kayu yang diduga sisa praktik pembalakan liar.
Bendungan di hulu sungai hancur sehingga menimbulkan banjir bandang. Air membawa gelondongan kayu berukuran besar bercampur lumpur dan melumat segala hal. Seperti mimpi, bencana seketika meratakan Bukit Lawang.
Suara jeritan tak lagi terdengar ditelan gemuruh air yang menggelegar. Mayat-mayat hanyut. Mereka bukan hanya tewas akibat tenggelam, tapi juga terjepit material dan tersengat listrik. Mereka yang selamat kini menjadi saksi betapa seram kemurkaan alam. Termasuk Deriati.
Dia masih ingat betul bagaimana kepanikan bergulat di antara keringat warga yang pontang-panting menggapai tempat aman. Banjir datang mengejutkan semua orang. Tak satu pun yang menyangka hari itu tiba.
Setelah sadar apa yang terjadi, Deriati teringat nasib anggota keluarganya. Sebagai seorang ibu, firasat dan perasaan Deriati tak tenang. Hatinya sontak hancur mengetahui Dani hilang.
Selang beberapa hari kemudian, jasad anaknya ditemukan di sisi hilir sungai. Sedangkan beberapa anggota keluarganya yang lain ditemukan di sekitar gua tak jauh dari Bukit Lawang.
“Waktu di atas loteng nenek hanya menangis. Ada yang menguatkan, ‘jangan menangis, nek’,” kenang Deriati.
Tidak terasa 2 dekade berlalu. Aliran sungai mengalami pergeseran. Hotel-hotel balik menjamur dan wisatawan kembali berdatangan.
Namun semua itu tak akan mampu memulangkan Bukit Lawang yang dulu. Khususnya bagi mereka yang telah kehilangan.
Wajah Bukit Lawang Sekarang
Tak jauh dari warung Deriati, Yusuf Sihotang sedang asyik menghisap rokok. Banjir bandang 2 dekade silam juga belum hilang dari ingatan lelaki berusia 50 tahun ini. Puluhan keluarganya tewas dalam musibah banjir bandang Bukit Lawang yang terjadi pada Minggu (2/11/2003) sekitar pukul 21.30 WIB silam.
“Kalau trauma pada saat ini tidak begitu lagi, cuma kita tetap masih mengenang dan tak terlupakan,” ujar Yusuf.
Setelah banjir bandang melanda, situasi di Bukit Lawang kini sedikit berbeda. Permukiman warga mulai dibangun lebih berjarak dari bantaran sungai. Beberapa hotel baru pun bermunculan.
Dari sisi pengunjung, menurut Yusuf, Bukit Lawang tak semeriah dibanding dulu. Secara umum, persentase pengunjung dan tingkat okupansi berkurang sekitar 25%.
“Mungkin juga dari pandemi selama dua tahun berpengaruh, sehingga tidak ada pengunjung yang datang kemari,” kata Yusuf.
Menurut Hendra, seorang pemandu wisata atau tourist guide setempat, angka kunjungan wisatawan relatif meningkat setelah banjir bandang Bukit Lawang.
Hanya saja, pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) sempat mengguncang geliat pariwisata.
“Harapan saya, khususnya kepada pemerintah, supaya memfasilitasi untuk turis. Seperti akses jalan, rumah-rumah yang kumuh ini ditertibkan supaya lebih baik lagi ke depan,” kata Hendra.
Harapan senada disampaikan Ardo, pemilik hotel dan bar Enter Point di Bukit Lawang. Menurut Ardo, destinasi wisata ini relatif semakin maju dari tahun ke tahun. Akan tetapi, kemajuannya tidak signifikan.
“Terutama kepada pemerintah, harus lebih melihat pengusaha yang ada di Bukit Lawang. Tolong diperhatikan untuk prospek ke depan. Program-program pemerintah harus segera dilaksanakan,” pintanya.