Erupsi.com, MEDAN – Aktivitas vulkanik letusan gunung api menjadi bagian tak terpisahkan dari jejak sejarah dunia. Dari sekian erupsi gunung terdahsyat, tiga di antaranya terjadi di Indonesia.
Yaitu Gunung Tambora, Gunung Krakatau dan Gunung Toba. Tak tanggung-tanggung, erupsi ketiga gunung tersebut sempat mengguncang tatanan kehidupan.
Pengertian Erupsi
Erupsi adalah aktivitas letusan gunung api berupa semburan magma ke permukaan bumi, baik secara efusif maupun eksplosif.
Jenisnya terbagi tiga, yaitu Erupsi Hawaiian, Erupsi Strombolian dan Erupsi Vulkanian.
Erupsi Hawaiian mempunyai ciri lava cair basalt yang keluar dari kawah gunung api dengan durasi panjang. Umumnya, Erupsi Hawaiian dialami oleh gunung api berbentuk perisai, bagian badan gunung terlihat lebih besar ketimbang tingginya.
Sementara Erupsi Strombolian memiliki karakteristik keluarnya material gas dan fragmen magma ke sekitar kawah. Pada skala besar, erupsi jenis ini akan mengalirkan lava.
Sedangkan Erupsi Vulkanian bersifat eksplosif, semburan magma dan asap yang melambung tinggi lalu melebar. Biasanya, erupsi jenis ini mengandung abu dan pasir yang melayang mengikuti arah angin. Selain itu, Erupsi Vulkanian jarang diiringi aliran lava.
Skala Erupsi
Kekuatan erupsi atau letusan gunung api dapat diukur dengan Volcanic Explosivity Index (VEI). Metode ini memanfaatkan material piroklastik untuk mengukur kekuatan erupsi. Seperti abu vulkanik, tephra, dan material lain yang dimuntahkan gunung.
Mengacu pada perhitungan tersebut, skala kekuatan erupsi dapat dikategorikan dengan angka 0 – 8. Erupsi dengan skala VEI 0 umumnya berbentuk lelehan. Sehingga cakupan lontaran material cenderung kecil, kurang dari 100 meter kubik. Erupsi skala 1 melontarkan material dengan cakupan mulai dari 100 meter kubik hingga 1 kilometer kubik.
Erupsi skala 2 akan melontarkan material dengan cakupan lebih luas. Yaitu sekitar 1 – 5 kilometer kubik. Sedangkan skala terbesar adalah skala 8. Level ini masuk dalam kategori erupsi gunung terdahsyat.
Umumnya memuntahkan material mencapai 1.000 kilometer kubik dengan tinggi letusan 20 – 25 kilometer dari puncak gunung.
Letusan Gunung Terdahsyat
Tiga erupsi gunung terdahsyat yang pernah tercatat pada era modern adalah erupsi Gunung Tambora, Gunung Krakatau dan Gunung Toba. Ketiga gunung ini berada di Indonesia.
Erupsi Gunung Tambora
Pada April 1815 silam, dunia pernah dikejutkan dengan letusan Gunung Tambora di Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Gunung ini terletak pada posisi geografis -8.25°LU dan 118°BT dengan ketinggian 2.850 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Suara letusannya kala itu disebut-sebut menggelegar hingga ke Sumatera. Setidaknya 71.000 nyawa melayang kala itu. Ada pula yang menyebut hingga 92.000 jiwa.
Berdasar kajian modern, diketahui bahwa erupsi Gunung Tambora memiliki skala VEI 7 atau super kolosal. Material yang dilontarkan mencapai 100 – 150 kilometer kubik dengan bobot aerosol sekitar 60 mega ton.
Kolom letusan gunung tersebut diperkirakan mencapai 43 kilometer dari puncak. Erupsi Gunung Tambora juga membentuk kaldera berdiameter 7 kilometer dan kedalaman mencapai 1,1 kilometer.
Dengan awan panas 800 derajat Celsius, erupsi kala itu menghanguskan tiga kerajaan di sekitarnya. Yakni Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat, dan Kerajaan Sanggar.
Penurunan Suhu Global
Amukan Gunung Tambora juga menyebabkan suhu global mengalami penurunan drastis. Bahkan setahun setelahnya, yakni 1816, dijuluki sebagai tahun tanpa musim panas atau year without summer. Erupsi gunung terdahsyat ini juga menyebabkan penurunan suhu 11 derajat Celsius di sisi utara Hemisfir.
Bahkan, hari-hari gelap melanda sejumlah wilayah hingga jarak 600 kilometer sisi barat Gunung Tambora. Dahsyatnya abu yang dilontarkan menutup sinar matahari hingga membuat sejumlah daerah gelap gulita selama tiga hari.
“Jarak 600 kilometer barat Gunung Tambora bahkan mengalami kegelapan sampai tiga hari,” ujar ahli dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Dr Igan Supriatman Sutawidjaja pada webinar bertajuk Jejak-Jejak Peradaban Tambora: Secercah Harapan di Balik Bencana yang unggah kanal YouTube Balar Bali.
Menurut Igan, peningkatan aktivitas Gunung Tambora sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun sebelum erupsi besar meletus pada April 1815, sekitar 1812 silam. Akan tetapi, warga di sekitar gunung tidak menyadari tanda-tanda bahaya. Inilah yang menyebabkan banyak nyawa melayang akibat bencana alam tersebut.
Gunung Tambora Kini
Saat ini, Tambora masih berstatus gunung api aktif. Erupsi terakhir terjadi pada 1967 lalu dengan skala VEI 0 alias tanpa letusan.
Berdasarkan data Magma Indonesia yang dikelola Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Gunung Tambora kini berstatus Level I atau Normal.
Pada periode pengamatan Kamis (15/9/2022) pukul 00:00 – 24:00 WITA, Tambora terlihat jelas hingga tertutup Kabut 0-III. Asap kawah tidak teramati. Cuacanya cerah hingga hujan, angin lemah hingga kencang ke arah barat laut.
Cuaca di sekitar lokasi terpantau cerah hingga hujan, angin lemah hingga kencang ke arah barat laut. Suhu udara sekitar 22 – 33 derajat Celsius dengan kelembaban 50 – 95% dan intensitas curah hujan tercatat 2 milimeter per hari.
“Masyarakat di sekitar Gunung Tambora dan pengunjung atau wisatawan agar tidak mendekati Kubah Lava Doro Afi Toi maupun Doro Afi Bou dan tidak mendekati lubang tembusan gas yang berada di dasar kaldera Tambora, serta membatasi aktivitas atau tidak berlama-lama berada di sekitar pusat aktivitas,” tulis laporan petugas Magma Indonesia Rasyidin.
Erupsi Gunung Krakatau
Selain Gunung Tambora, sejarah juga mencatat letusan Gunung Krakatau sebagai erupsi gunung terdahsyat yang pernah terjadi. Dampak yang ditimbulkan sungguh luar biasa.
Gunung ini terletak di Selat Sunda, selat yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Secara administratif, Gunung Krakatau terletak di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.
Menurut hasil penelitian, Gunung Krakatau sudah berulang kali erupsi. Namun yang paling menghebohkan terjadi pada 1883 silam. Peristiwanya terjadi selama dua hari, tepatnya pada 26 – 27 April 1883.
Pada masa itu, populasi umat manusia sudah padat. Di sisi lain, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi juga sedang berkembang. Seperti penemuan telegraf dan pemasangan kabel bawah laut.
Suara erupsi Gunung Krakatau konon terdengar hingga ribuan mil dan menimbulkan tsunami setinggi 40 meter. Bencana ini merenggut 34.000 nyawa dan menyebabkan Pulau Krakatau hancur.
Fenomena alam ini kemudian memunculkan gunung api aktif baru yang bernama Gunung Anak Krakatau.
Erupsi kala itu menyemburkan jutaan ton material magma serta menutup cahaya sinar matahari seluas 827.000 kilometer.
Abu vulkanik bahkan menyelubungi lapisan atmosfer selama dua hari sehingga sempat menyebabkan perubahan iklim global.
Di sejumlah wilayah, matahari terlihat redup selama setahun. Bahkan, abu vulkanik yang dimuntahkan mencapai Norwegia dan New York di Amerika Serikat.
30.000 Kali Lipat dari Bom Atom
Daya ledak Gunung Krakatau diperkirakan mencapai 30.000 kali lebih besar dari bom atom. Suara letusannya terdengar hingga ke Australia dan Afrika.
Jejak kedahsyatan masa lalu gunung tersebut kini masih dapat dilihat melalui Gunung Anak Krakatau. Gunung yang terbentuk berkat erupsi 1883 ini berstatus aktif.
Bahkan, pakar memperingatkan agar peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau belakangan ini wajib diwaspadai.
“Catatan kami, aktivitas yang meningkat dari aktivitas Gunung Anak Krakatau wajib untuk diwaspadai,” ujar Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar S Prasetya saat menggelar konferensi pers secara virtual pada Senin (25/4/2022) lalu.
Gunung Krakatau Kini
Berdasarkan data Magma Indonesia, Gunung Anak Krakatau kini berstatus Level III atau Siaga. Erupsi terpantau terjadi pada Kamis (4/8/2022) pukul 09:26 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1500 meter di atas puncak atau sekitar 1657 mdpl.
Kolom abu teramati berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tebal ke arah utara. Erupsi ini terekam di seismograf dengan amplitudo maksimum 60 milimeter dan durasi 52 detik.
Gunung Anak Krakatau terletak pada posisi geografis di -6.102°LU dan 105.423°BT dengan ketinggian 157 mdpl.
Pada periode pengamatan Jumat (16/9/2022) pukul 06:00 – 12:00 WIB, cuaca di sekitar lokasi terpantau berawan, angin lemah ke arah timur laut. Suhu udara sekitar 23.3 – 28.8 derajat Celsius dengan kelembaban 56 – 61%.
Penampakan gunung tertutup Kabut 0-III dan asap kawah tidak teramati. Pada periode tersebut, ombak laut tampak tenang.
Terjadi satu kali gempa hembusan dengan amplitudo 17 milimeter dan durasi 29 detik. Kemudian satu kali gempa tremor menerus dengan amplitudo 0.5 – 6 milimeter dan dominan 2 milimeter.
“Masyarakat, pengunjung, wisatawan, pendaki tidak mendekati Gunung Anak Krakatau atau beraktivitas dalam radius 5 kilometer dari kawah aktif,” ujar pembuat laporan Magma Indonesia, Anwar Mucklisin.
Erupsi Gunung Toba
Erupsi gunung terdahsyat berikutnya tentu Gunung Toba. Gunung super volcano ini meletus dahsyat sekitar 74.000 tahun lalu. Secara geografis, Gunung Toba berada di Sumatera Utara.
Tidak diketahui secara pasti ukuran Gunung Toba pada masa itu. Namun saking dahsyatnya, letusan gunung purba tersebut membentuk kaldera yang kini dikenal sebagai Danau Toba.
Danau ini memiliki panjang sekitar 100 kilometer, lebar 30 kilometer dan kedalaman mencapai 505 meter.
Danau Toba meliputi tujuh kabupaten di Sumatera Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi, Kabupaten Toba, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kabupaten Tapanuli Utara.
Peneliti yakin Gunung Toba pernah meletus sebanyak empat kali. Dua di antaranya adalah letusan super. Ledakan pertama terjadi pada 1,2 juta tahun lalu dengan skala VEI 6.
Letusan Super Pertama
Kemudian yang kedua terjadi pada 840.000 tahun lalu dengan skala VEI 8. Letusan ini merupakan letusan super pertama Gunung Toba dan menciptakan kaldera di selatan Danau Toba.
Lalu yang ketiga terjadi 500.000 tahun lalu adalah skala VEI 6. Sedangkan yang keempat terjadi pada 74.000 tahun lalu. Erupsi keempat menyebabkan bencana yang menghancurkan populasi mahkluk hidup saat itu.
Letusannya mengeluarkan 2.800 kilometer kubik magma riolit dan menyebarkan material piroklastik halus di Afrika dan Asia selama 9 – 14 hari.
Lapisan abu erupsi Gunung Toba tersebar hingga ke Laut China Selatan, Malaysia, Jazirah Arab dan Samudra Hindia.
Beberapa studi menyimpulkan bahwa erupsi Gunung Toba memicu pendinginan global yang menghancurkan. Musim dingin vulkanik ini bahkan dipercaya sebagai penyebab kemacetan populasi manusia modern.
Abu dan gas vulkanik sempat menghalangi sinar matahari sehingga menyebabkan musim dingin atau penurunan suhu dunia 3 – 5 derajat Celsius.
Musim dingin berlangsung selama 6 – 10 tahun. Erupsi Gunung Toba juga sempat menyebabkan lapisan ozon menipis hingga 20% – 50%.
Associate Professor dari John de Laeter Center Curtin University Australia Martin Danišík menjelaskan bahwa gunung supervolcano biasanya baru akan meletus lagi dengan interval puluhan ribu tahun.
Tim peneliti telah menganalisis kondisi magma yang tersisa dari erupsi Gunung Toba melalui mineral feldspar dan zirkon.
Dengan menggunakan data geokronologis, statistik, dan pemodelan termal, peniliti mengumpulkan bahwa magma sisa gunung tersebut terus mengalir di dalam kaldera.
“Kami menunjukkan bahwa magma terus mengalir keluar di dalam kaldera, atau depresi dalam yang diciptakan oleh letusan magma, selama 5.000 hingga 13.000 tahun setelah letusan super, dan kemudian karapas dari magma sisa yang padat didorong ke atas seperti cangkang kura-kura raksasa,” kata Danišík melalui keterangan resminya.
Mungkinkah Meletus Lagi?
Danišík percaya bahwa sisa magma Gunung Toba masih memungkinkan meletus kembali di masa depan.
“Kita sekarang harus mempertimbangkan bahwa letusan dapat terjadi bahkan jika tidak ada magma cair yang ditemukan di bawah gunung berapi – konsep tentang apa yang ‘dapat meletus’ perlu dievaluasi kembali,” ujar Danišík.