Erupsi.com, KARO – Malam kelam itu akhirnya tiba. Obrolan yang sejak beberapa hari terakhir memenuhi warung kopi ternyata benar-benar terjadi. Gunung Sinabung meletus. Melelehkan lava pijar disertai semburan gas vulkanik.
Gemuruhnya memecah keheningan dan menggetarkan jantung ribuan warga yang sedang terlelap. Debu melambung ribuan meter ke udara, menutup sinar rembulan dan menambah gelap langit malam itu. Kepanikan terjadi di antara sesak nafas warga yang menyelematkan diri.
Kenangan itu tidak akan pernah terlupakan oleh Eliana Beru Ginting, warga Desa Sukanalu, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Eliana merupakan satu di antara para penduduk desa yang pontang-panting menyelamatkan diri ketika Gunung Sinabung pertama kali meletus pada Agustus 2010 silam. Gunung setinggi 2.460 meter di atas permukaan laut tersebut bangkit dari tidur panjang.
Bersama suami dan tiga putranya, Eliana mengungsi ke Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo. Mereka tidak sendiri. Ada ribuan warga lain yang turut dievakuasi dari radius lima kilometer Gunung Sinabung.
Sejak saat itulah sunyi dan debu mengambil alih desa. Ribuan unit rumah terlantar. Abu vulkanik menumpuk di atap sehingga menyebabkan kerusakan. Tempat ini pun dijuluki Desa Hantu Gunung Sinabung.
Penghuni Desa Hantu Berteman dengan Gunung
Satu dekade berlalu. Eliana kini nyaris berusia 50 tahun. Tapi semangatnya belum luntur untuk mengangkat lembar demi lembar papan di tepi jalan berdebu pada akhir pekan yang cerah.
Di belakang, anak bungsu Eliana menunggu. Mereka hendak membenahi sisi dinding rumah yang sudah roboh diterjang waktu.
Mereka menjadi satu-satunya keluarga yang bertahan menetap di Desa Sukanalu setidaknya hingga 2021 lalu. Di tempat itu, puluhan unit rumah tampak kosong ditinggal empunya. Julukan desa hantu Gunung Sinabung semakin kental di tempat ini.
Memutuskan tinggal di tempat yang tak jauh dari gunung api berstatus siaga bukan pilihan menyenangkan bagi Eliana. Saat itu, Eliana menunggu daftar relokasi.
Dalam penantian itu, rasa cemas dan khawatir awalnya kerap menyelip di tengah tidur Eliana beserta keluarga. Namun seiring waktu, mereka menemukan cara untuk menanganinya.
“Caranya dengan belajar berteman dengan Gunung Sinabung ini. Memahami dia. Biasanya kalau mau erupsi akan terdengar gemuruh, ada yang bergetar. Itu artinya kami harus pergi,” kata Eliana kepada Erupsi, Sabtu (17/9/2022).
Konon, Gunung Sinabung terakhir kali erupsi pada 1.600 silam. Dia bangkit dari tidur panjang pada Agustus 2010. Beberapa hari sebelum debu tiba-tiba menyembur setinggi 5.000 meter, warga sudah diperingatkan soal peningkatan aktivitas vulkanik Gunung Sinabung.
Eliana masih ingat betul setiap detik peristiwa itu. Tujuh tahun hidup di pengungsian, sang suami menghembuskan nafas terakhir. Suhendra Tarigan meninggal dunia secara mendadak ketika sedang tidur di posko.
“Kalau takut, sudah pasti ada. ‘Bagaimana nanti yang terjadi saat meletus lagi?’. Tapi kami mencoba kenal dan berteman. Istilahnya, kami ini satu rumah dengan gunung, jadi harus berteman,” Eliana.
Desa Hantu Gunung Sinabung
Tak jauh dari Desa Sukanalu, pemandangan tak kalah horor juga terlihat di Desa Gamber, Kecamatan Simpang Empat. Rumah-rumah ditinggal pergi para penghuninya yang sudah terlebih dahulu menjalani program Relokasi Mandiri.
Sebagian tampak sudah roboh. Bahkan di antaranya hangus. Rumah itu menjadi saksi bisu ganasnya terjangan material lava Gunung Sinabung. Setidaknya ada tujuh warga desa ini yang tewas kala erupsi besar terjadi beberapa tahun lalu.
Nasib lebih mujur dialami penduduk Desa Berastepu. Tidak ada warga yang tewas akibat bencana. Akan tetapi, kondisi desa ini juga tak berbeda dari yang lain. Sejumlah unit rumah roboh. Semua telah ditinggal pergi oleh penghuninya.
Di persimpangan jalan, seorang lelaki duduk di teras bangunan bertingkat dua. Bentuknya sudah usang dan tampak tidak terawat. Dulu, tempat ini merupakan kedai kopi milik lelaki tersebut, Opini Sitepu (50).
Sebelum Jadi Desa Hantu
Opini menuturkan, desa ini awalnya dihuni sekitar 774 kepala keluarga. Setelah erupsi besar terjadi, mereka direlokasi. Warga diberi dana senilai Rp110 juta untuk membeli rumah serta lahan pertanian.
Pemilihan lokasi rumah baru dan lahan pertanian diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Syaratnya, rumah dan lahan tersebut mesti berada di luar zona merah Gunung Sinabung. Namun harus tetap berada di Kabupaten Karo. Program inilah yang disebut Relokasi Tahap II atau Relokasi Mandiri.
“Letusan pertama tahun 2010. Saat itu, ada yang balik lagi ke desa setelah mengungsi. Tapi warga mulai pindah ramai-ramai saat letusan besar tahun 2013. Sejak saat itu sampai sekarang Gunung Sinabung terus batuk-batuk,” kata Opini.
Nasib Pengungsi Gunung Sinabung
Kepala BPBD Kabupaten Karo Juspri Nadeak mengatakan, permukiman yang berada di zona merah Gunung Sinabung wajib direlokasi. Meski demikian, rumah serta lahan pertanian yang ditinggalkan tetap menjadi hak milik warga.
“Jadi nanti apalagi kondisi Gunung Sinabung sudah normal, dari segi kepemilikan rumah dan lahan pertanian yang ditinggal itu tetap menjadi milik masyarakat yang dulu tinggal di sana. Tidak berubah,” kata Juspri pada Juni 2021 lalu.
Sejak 2013 lalu, pemerintah melakukan kebijakan relokasi bertahap terhadap warga yang bermukim di zona merah Gunung Sinabung. Berdasarkan data BPBD Kabupaten Karo, terdapat ribuan warga dari 11 desa yang masuk dalam program relokasi.
Relokasi Eks Penghuni Desa Hantu Gunung Sinabung
Untuk Relokasi Tahap I, terdapat 370 kepala keluarga yang mendapat jatah hunian tetap di Siosar dan 457 kepala keluarga mendapat lahan usaha tani. Mereka berasal dari tiga desa. Yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Program ini sekarang sudah terlaksana.
Untuk Relokasi Tahap II, pemerintah menyasar 1.679 kepala keluarga dari empat desa. Yaitu Desa Gurukinayan, Desa Berastepu, Desa Gamber dan Desa Kuta Tonggal.
Berbeda dengan Relokasi Tahap I, pemerintah tidak menyiapkan hunian tetap. Pemerintah memberi uang senilai Rp110 juta kepada warga yang didata. Dari jumlah itu, Rp60 juta akan dipakai untuk membangun rumah baru. Selebihnya untuk membeli lahan pertanian.
Pemilihan lokasi rumah serta lahan pertanian tersebut diserahkan sepenuhnya kepada warga. Program inilah yang disebut Relokasi Mandiri.
Sebanyak 1.655 kepala keluarga diberi uang untuk membeli rumah. Sedangkan 1.679 Kepala Keluarga diberi dana untuk membeli lahan pertanian.
Terdapat 29 hamparan yang menjadi titik relokasi warga dalam Tahap II ini. Sedangkan untuk Relokasi Tahap III, pemerintah kembali menyiapkan hunian tetap dan menyediakan lahan pertanian yang baru seperti halnya Relokasi Tahap I.
Ada sekitar 892 unit rumah yang sudah siap dibangun. Kemudian, pemerintah juga akan menyediakan lahan pertanian untuk 1.032 kepala keluarga. Mereka berasal dari tiga desa dan satu dusun.
Keempatnya adalah Desa Sukanalu, Desa Sigarang-garang, Desa Mardinding serta Dusun Lau Kawar.
Berdasarkan catatan, pemerintah pusat sudah mengalokasikan dana mencapai Rp734,8 miliar untuk program relokasi masyarakat terdampak erupsi Gunung Sinabung.
Status Gunung Sinabung
Terhitung sejak Selasa (17/5/2022), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengubah status Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatra Utara, dari Siaga (Level III) menjadi Waspada (Level II).
Penurunan status ini disampaikan melalui surat resmi oleh Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mayjen TNI Suharyanto, Gubernur Sumatra Utara Edy Rahmayadi dan Bupati Karo Cory Sriwaty Sebayang.
“Berdasarkan hasil analisis data visual dan instrumental serta potensi ancaman bahayanya, dinilai tingkat aktivitas Gunung Sinabung dapat diturunkan dari Level III (Siaga) ke Level II (Waspada) terhitung mulai tanggal 17 Mei 2022 pukul 21.00 WIB,” tulis Eko pada surat yang ditandatangani Rabu (18/5/2022).
Gunung Strato
Gunung Sinabung merupakan gunung vulkanik berbentuk strato. Secara administratif, Gunung Sinabung berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Secara geografis, letaknya berada pada posisi 3°10’LU, 98°23,5’BT dengan ketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Selama ini, aktivitas vulkanik Gunung Sinabung diamati secara visual dan instrumental dari Pos Pengamatan Gunung Api (PGA) yang berada di Desa Ndokum Siroga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo.
Sejak 2 Juni 2015, tingkat aktivitas Gunung Sinabung dinaikkan dari Level III (Siaga) menjadi Level IV (Awas). Dan pada 20 Mei 2019, tingkat aktivitasnya diturunkan lagi dari Level IV (Awas) menjadi Level III (Siaga).
Hasil Pengamatan
Pada periode pengamatan Jumat (16/9/2022) pukul 00:00-24:00 WIB, cuaca di sekitar Gunung Sinabung tampak cerah hingga mendung, angin lemah hingga sedang ke arah timur dan tenggara. Suhu udara sekitar 15-28°C.
Gunung api terlihat jelas hingga tertutup Kabut 0-III. Teramati asap kawah utama berwarna putih dengan intensitas tipis tinggi sekitar 50-300 meter dari puncak.
Berdasar laporan Magma Indonesia, terjadi satu kali gempa Tornillo dengan amplitudo 3 mm, dan lama gempa 15 detik. Kemudian terjadi tiga kali gempa Tektonik Jauh dengan amplitudo 3-58 mm, S-P 10-45 detik dan lama gempa 67-91 detik.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mengimbau masyarakat dan pengunjung atau wisatawan agar tidak melakukan aktivitas di desa-desa yang sudah direlokasi.
Masyarakat juga diimbau tidak beraktivitas dalam radius radial 3 kilometer dari puncak Gunung Sinabung serta radius 4,5 kilometer untuk sektoral selatan-timur.
“Masyarakat yang berada dan bermukim di dekat sungai-sungai yang berhulu di Gunung Sinabung agar tetap waspada terhadap bahaya lahar. Pemerintah Daerah Kabupaten Karo agar senantiasa berkoordinasi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi atau Pos Pengamatan Gunung api Sinabung,” tulis pembuat laporan, Moh Nurul Asrori, Jumat (16/9/2022).