Erupsi.com, MEDAN – Sejak beberapa waktu terakhir, Aceh dikepung bencana alam. Beberapa hari lalu, jalan utama penghubung Aceh Tamiang dan Langkat, Sumatera Utara putus total sebelum kini mulai berangsur surut.
Di Aceh Tenggara, dua nyawa melayang akibat banjir bandang dan tanah longsor pada Rabu (2/11/2022). Dua hari sebelum itu, banjir juga melanda Aceh Timur dan Subulussalam. Sebulan sebelumnya, banjir sudah dulu menerjang Aceh Utara.
Catatan di atas hanya sebagian dari puluhan bencana hidrologis yang telah melanda Aceh sepanjang tahun ini. Puluhan ribu jiwa diperkirakan terdampak. Termasuk sawah, lahan pertanian dan situs perekonomian lainnya.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh Solihin, bencana banjir Aceh tak lepas dari berbagai faktor. Di balik peristiwa ini, terjadi degradasi tutupan pohon dan hutan primer besar-besaran sejak satu dekade terakhir.
“Sudah bisa dikatakan bahwa saat ini Aceh darurat bencana ekologis,” kata Solihin kepada Erupsi, Minggu (6/11/2022).
Berdasar hasil pemantauan Global Forest Watch, seluas 322.906,37 hektare tutupan pohon di Aceh lenyap kurun satu dekade terakhir. Tepatnya sejak 2001 hingga 2021.
Aceh Timur menjadi daerah dengan tutupan pohon paling banyak menghilang. Disusul Aceh Utara, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Tamiang, Aceh Selatan dan lainnya.
Selain tutupan pohon, Aceh juga mengalami degradasi hutan primer secara besar kurun satu dekade belakangan. Berdasar data yang sama, setidaknya 284.000 hektare hutan primer di Aceh telah menghilang kurun 2002-2021.
Menurut Solihin, 98 persen bencana yang melanda Aceh tergolong hidrometeorologis. Ancaman ini, katanya, sudah diperingatkan sejak beberapa tahun lalu.
“Namun kebijakan yang diambil pemerintah justru membuka karpet merah untuk perizinan industri ekstraktif. Seperti izin tambang, perkebunan monokultur. Kebijakan Pemerintah Aceh seperti tidak sensitif terhadap bencana,” kata Solihin.
Catatan Bencana di Aceh
Berdasarkan catatan WALHI Aceh, telah terjadi sekitar 982 kali bencana di Aceh sepanjang 2018-2021. Jumlah itu termasuk bencana ekologi berupa 163 kali kejadian banjir, 79 kali kejadian erosi, 37 kali kejadian abrasi.
Kemudian 68 kali kejadian kebakaran hutan dan lahan, 24 kali kejadian kekeringan, 95 kali kejadian angin puting beliung dan 16 kali kejadian gempa besar.
Menurut Solihin, ada beberapa penyebab yang membuat aksi perusakan lingkungan terus terjadi di Aceh. Perusakan diyakini menjadi muara dari bencana ekologis yang kian intensif akhir-akhir ini.
Selain kebijakan yang keliru seperti alih fungsi lahan hutan, efektivitas penegakan hukum juga disinyalir menjadi penyebab munculnya bencana. Sampai saat ini, kata Solihin, pertambangan ilegal masih berlangsung di tujuh kabupaten di Aceh.
“Pertama penyebabnya adalah dari sisi kebijakan yang salah. Dari kebijakan ruang, ada kawasan yang seharusnya resapan air, dijadikan wilayah budidaya penuh. Ada daerah rawan bencana tapi itu dijadikan permukiman misalnya,” ujar Solihin.
Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) rencananya akan memaparkan hasil tinjauan lapangan terkait banjir Aceh dan bencana hidrologis lainnya kepada Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Achmad Marzuki pada Senin (7/11/2022) mendatang. Hasil peninjauan itu nantinya akan dirumuskan menjadi suatu kebijakan penanganan yang terpadu.
“Koordinasi dan mobilisasi bantuan dari provinsi ke daerah terdampak banjir masih terus berlangsung saat ini. Personel dinas sosial dan BPBA sampai saat ini juga masih di lapangan,” ujar Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad MTA melalui keterangan resminya, Sabtu (5/11/2022).
Kerusakan Hutan Penyebab Banjir Aceh
Selain curah hujan yang tinggi, Muhammad tak menampik adanya aktivitas penggerusan kawasan hutan yang mengakibatkan perubahan bentang alam. Termasuk berdampak mengurangi area tangkapan air di kawasan hulu.
“Tim saat ini masih terus bekerja di lapangan, di daerah intensitas banjir yang semakin meluas. Singkil dan Aceh Selatan juga mengalami hal yang sama. Aceh Tamiang bahkan lebih parah dari tahun sebelumnya,” ujar Muhammad.
Pada Sabtu (15/10/2022) lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menggelar Rapat Koordinasi Nasional demi menghadapi masa cuaca ekstrem akhir tahun.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto mengingatkan pemerintah daerah agar segera menerbitkan status tanggap darurat bila terjadi bencana.
Status itu berguna untuk membuka pintu bagi seluruh stakeholder untuk memberi bantuan. Sehingga diharap bisa meminimalkan korban jiwa maupun kerugian materi.
“Tanggap darurat ini dilakukan secepat mungkin, agar warga yang terdampak bencana segera dapat terbantu,” kata Suharyanto.
Bencana Alam Sepanjang Tahun
Berdasar data BNPB, bencana alam yang dipicu oleh faktor cuaca seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor mendominasi kurun Januari-Oktober 2022.
Bencana banjir terjadi sebanyak 1.083 kali peristiwa, cuaca ekstrem 867 kali dan tanah longsor 483 kali kejadian. Kemudian juga ada bencana kebakaran hutan dan lahan sebanyak 239 kejadian.
Lalu gempa bumi dan erupsi gunung api sebanyak 21 kejadian, gelombang pasang atau abrasi sebanyak 21 kali dan kekeringan empat kali kejadian.
Akibat rentetan bencana tersebut, sebanyak 160 jiwa meninggal dunia, 28 orang hilang, 790 orang luka-luka dan 3.193.001 jiwa terdampak bencana.
Bencana ini diperkirakan telah menimbulkan kerugian materi yang tak sedikit. Sejumlah bangunan ditemukan rusak.
Antara lain 31.170 unit rumah, 882 unit fasilitas umum, 501 unit fasilitas pendidikan. Kemudian 306 unit rumah ibadah, 75 unit fasilitas kesehatan, 137 unit kantor dan 137 unit jembatan.
Kurun 3-9 Oktober 2022 saja, setidaknya sudah terjadi 66 kejadian bencana hidrometeorologi basah yang meliputi 35 kejadian banjir, 16 peristiwa tanah longsor dan 15 kali cuaca ekstrem.
Dari seluruh kejadian itu, ada sebanyak sembilan jiwa meninggal dunia, satu orang hilang dan 151.156 jiwa terdampak.