GJI: Penyelamatan Ekosistem Batang Toru Butuh Kolaborasi Multipihak

Erupsi.com, MEDAN – Kawasan ekosistem Batang Toru memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan harus mendapat perlindungan. Namun kini terdapat industri besar yang berpotensi mengancam keberlangsungan fungsi ekologisnya. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi kolektif untuk menjaganya.

Polemik ini mengemuka dalam diskusi bertajuk Refleksi Penyelamatan Kawasan Ekosistem Batang Toru yang digelar Green Justice Indonesia (GJI) di Medan pada Kamis (16/1/2025).

Menurut Direktur Green Justice Indonesia Panut Hadisiswoyo, kawasan ekosistem Batang Toru menjadi perhatian global. Kawasan ini merupakan harapan terakhir bagi keanekaragaman hayati. Termasuk spesies langka bernama orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang populasinya diperkirakan kurang dari 800 individu.

“Ekosistem Batang Toru menjadi daya tarik dengan berbagai isu ada investasi di sana. Ada lanskap yang memang menjadi harapan terakhir untuk biodiversity yang tersisa, seperti orang utan Tapanuli, spesies gibbon dan jenis-jenis primata lainnya,” ujar Panut.

Persoalan Ekosistem Batang Toru

Pada kesempatan ini, Panut menyoroti dinamika yang terjadi berdasarkan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Metode ini berfungsi menganalisis vegetasi tumbuhan atau tanaman serta membandingkan tingkat kehijauan dan memetakan kerapatan vegetasi.

“Secara keseluruhan ekosistem yang terpisahkan dari kawasan ekosistem Batang Toru ini sebenarnya sekitar 240 ribu hektare karena mencakup APL dan lain-lain. Kemudian terfragmentasi tiga bagian dan mungkin akan ada fragmentasi berikutnya,” katanya.

Melalui metode NDVI, kata Panut, peneliti dapat membandingkan perbedaan vegetasi kawasan ekosistem Batang Toru kurun 2013-2023. Jika dilihat secara keseluruhan, menurut Panut, terdapat peningkatan vegetasi.

Pada 2013, vegetasi sedang-tinggi terlihat seluas 204.311 hektare. Luasnya bertambah menjadi 220.753 hektare pada 2023. Sementara untuk vegetasi sangat rendah terjadi penurunan. Yakni dari seluas 3.336 hektare pada 2013 menjadi 3.147 hektare pada 2023.

Menurut Panut, hal tersebut terjadi berkat penanaman kembali sehingga secara vegetasi dinilai sudah mulai tinggi. Selain itu, terdapat penanaman oleh Perkebunan Kayu Rakyat di beberapa tempat yang menyuplai kebutuhan kayu eucalyptus.

kawasan ekosistem batang toru
Direktur Green Justice Indonesia Panut Hadisiswoyo dan sejumlah narasumber pada diskusi awal tahun bertajuk Refleksi Penyelamatan Kawasan Ekosistem Batang Toru di Medan pada Kamis (16/1/2025). (Dewantoro)

“Keseluruhan pada 2013 ada daerah yang sangat terbuka vegetasi atau non-vegetasi sekitar 426 hektare. Tetapi pada 2023 ada peningkatan pembukaan itu menjadi 665 hektare. Pertama di 2013 ini ada konsesi Agincourt, kemudian pada 2023 kita lihat ada memang peningkatan,” katanya.

Berdasarkan analisis NDVI pada 2013, lanjut Panut, belum terlihat pembukaan lahan di titik Sungai Batang Toru. Namun kemudian terjadi fragmentasi sepanjang sungai tersebut pada 2023.

“Dan di sini juga merupakan areal PLTA sehingga memang tersentral pembukaan atau hilangnya vegetasi itu di dua tempat itu saja yang secara signifikan terjadi,” katanya.

Hasil Analisis Vegetasi

Menurut Panut, hasil analisis vegetasi ini menjadi perhatian karena di ekosistem seluas 240.000 hektare tersebut juga mencakup hutan lindung dan areal penggunaan lain. Selain itu juga terdapat aktivitas manusia, konversi untuk pertanian, pertambangan atau industri ekstraktif, PLTA serta penebangan kayu yang membuat tantangan konservasi semakin kompleks.

Guna menanggulanginya, dibutuhkan kolaborasi dari berbagai civil society organization yang bekerja di blok atau koridor barat, timur dan selatan Kawasan ekosistem Batang Toru serta masyarakat lokal dan pemerintah daerah setempat. Menurut Panut, perlu penguatan ekonomi hijau.

Panut mendorong adanya pertimbangan pemerintah untuk merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumut secara utuh yang memang mengedepankan perlindungan kawasan ekosistem Batang Toru.

“Kita mengharapkan tata ruang itu mengakomodir habitat spesies yang penting ini untuk menjadi perlindungan karena memiliki fungsi ekologi dan juga sekaligus upaya mitigasi terhadap bencana alam dan perubahan iklim,” katanya.

Butuh Kolaborasi Multipihak

Menurut Manajer Program dan Tata Kelola Pengetahuan Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut) Fhiliya Himasari, pihaknya menemukan ancaman deforestasi besar-besaran di kawasan ekosistem Batang Toru akibat pembangunan PLTA. Pada 2017, konflik mulai meningkat seiring dengan ditetapkannya spesies baru, yakni orang utan Tapanuli.

Advokasi yang dilakukan Walhi Sumut tidak hanya untuk membela satu spesies. Tetapi juga menyelamatkan ekosistem yang melibatkan masyarakat adat, flora dan fauna.

“Kepentingan kita itu bagaimana kita bisa mendorong hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal hak atas lingkungan hidup, hak lingkungan hidup itu tetap terjamin apa adanya,” katanya.

Saat ini, lanjut Fhiliya, Walhi Sumut juga mendesak untuk diperhatikan adalah revisi RTRW Sumut yang sedang digodok. Pihaknya menduga pemerintah lebih memilih pertumbuhan ekonomi dibandingkan keberlanjutan lingkungan.

Di luar itu, lanjut Fhiliya, pemerintah juga tidak terlihat serius dalam menindak pelaku kejahatan lingkungan. Justru yang terlihat pemerintah fokus hanya pada penguatan kelembagaan tanpa ada langkah konkret. Hal-hal tersebut berpotensi mengganggu kawasan ekosistem Batang Toru, termasuk masyarakat lokal.

“Pertama, hilangnya kata keberlanjutan. RTRW ini fokus pada agraris, pariwisata dan perikanan tanpa menyebut keberlanjutan lingkungan. Kemudian perkebunan sawit dan karet, secara eksplisit pemerintah memasukkan keduanya sebagai prioritas sehingga ini dikhawatirkan dapat mempercepat laju deforestasi,” katanya.

Menurut member Voice of Forest Prayugo Utomo, isu kawasan ekosistem Batang Toru tidak terbatas pada orang utan Tapanuli. Sebab terdapat aneka spesies lain seperti kura-kura kaki gajah yang kondisinya terancam dan tidak diperhatikan. Banyak masyarakat yang tidak mengetahui satwa itu dilindungi.

Untuk itu, Yugo mengajak semua pihak untuk kolaborasi dalam menyelamatkan kawasan ekosistem Batang Toru.

“Bisa dengan investigasi bersama, atau publikasi bersama itu untuk memperluas kampanye perlindungan kawasan ekosistem ini,” katanya.

Leave a Comment