Eupsi.com, MEDAN – Tangan seorang lelaki paruh baya begitu cekatan mengayunkan gagang pemotong rumput. Keringatnya bercucuran membasahi kaus pendek yang sebagian sisi sudah berlubang dan usang.
Cuaca sore itu memang sangat mendukung Sucipto melanjutkan aktivitasnya menebas rerumputan liar yang tumbuh subur memenuhi kebun jeruk di Resor Sekoci Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Semua berjalan seperti biasa sebelum sang penghuni asli tiba-tiba datang menebar aroma sekaligus aura horor.
Sucipto berhenti membabat dan menegakkan punggung, mengambil botol di pinggang dan menenggak minuman secara perlahan.
Dia berusaha tetap tenang, bersikap seolah-olah tidak menyadari ada seekor harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang sedang melintas di balik semak.
Melihat Harimau Loreng Putih
Sebagai bentuk penghormatan berbalut cemas, Sucipto menahan diri menolehkan wajah. Badannya diam pasrah sambil memanjatkan doa. Sebenarnya, bertemu atau sekadar melihat harimau bukan pengalaman baru bagi Sucipto.
Untungnya hari ini masih sama. Nasib baik berpihak pada lelaki tersebut. Harimau akhirnya memutuskan berlalu dan melanjutkan perjalanan.
Namun, betapa terkejut Sucipto saat melihat keanehan pada tubuh hewan buas itu. Sucipto bahkan sempat tidak percaya hingga mengusap mata.
Ternyata, harimau yang barusan melintas memiliki bulu loreng berwarna putih, bukan hitam seperti harimau Sumatera pada umumnya.
Sedangkan warna bulu pada bagian lain tampak normal, yaitu kuning kemerahan serta putih di sisi perut dan wajah.
“Dia (harimau) sedang jalan. Belangnya putih. Saya kemudian lihat, loh kok putih?”ujar Sucipto menceritakan pengalamannya kepada Erupsi, Minggu (30/10/2022).
Sucipto memastikan bahwa dirinya tidak salah lihat. Harimau itu, menurutnya, benar-benar memiliki bulu loreng berwana putih. Sedangkan warna bulu pada bagian lainnya terlihat berwarna jingga atau kuning kemerahan.
“Ya, belangnya saja yang putih,” kata Sucipto dengan mimik wajah serius.
Hidup Berdampingan dengan Hewan Buas
Sucipto bukan kali pertama bertemu dengan predator itu saat pergi berladang. Tapi baru ini dia menyaksikan langsung seekor harimau dengan corak bulu yang berbeda.
Tinggal di hutan belantara membuat Sucipto harus siap menanggung konsekuensi hidup berdampingan dengan berbagai hewan buas.
Bukan cuma harimau, namun juga beruang hingga gajah. Sebab, kawasan yang ditanami pohon jeruk tersebut merupakan habitat dan area jelajah mereka.
Sucipto bukannya tidak takut. Namun situasi memaksanya harus menepi jauh hingga ke tempat ini. Terlepas dari hal itu, Sucipto juga yakin bahwa hewan tak bakal menyerang jika tidak diganggu.
“Karena kita kan tidak mengganggu, begitu saja,” kata Sucipto.
Bukan Harimau Putih
Sebenarnya, keberadaan harimau berbulu putih bukan penemuan baru. Hanya saja, harimau putih yang dimaksud merupakan subspesies harimau Bengal (Panthera tigris tigris) yang bisa ditemukan di India, Bangladesh, Bhutan dan Nepal.
Bukan subspesies harimau Sumatera. Selain itu, warna putih terdapat pada bagian bulu selain loreng.
Secara ilmiah, warna putih pada bulu harimau putih merupakan hasil mutasi genetik langka resesif yang disebut leucism, bukan albino.
Pada 2013 lalu, tim peneliti asal China berhasil menemukan penyebab bulu putih pada harimau Bengal. Berdasar hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal Current Biology, mutasi gen pada protein yang jadi penyebabnya.
Mutasi gen tersebut dinamakan SLC45A2, keberadaannya menghambat proses produksi pigmen merah dan kuning pada bulu harimau yang seharusnya menghasilkan bulu berwarna jingga atau oranye.
Akan tetapi, SLC45A2 tersebut tidak berpengaruh terhadap pigmen warna lainnya. Sehingga harimau putih tetap memiliki bulu loreng berwarna hitam.
Pada harimau normal, bulu berwarna hitam dihasilkan pigmen eumelanin. Sedangkan warna jingga atau oranye berasal dari pigmen pheomelanin.
Leucism atau leukisme ini tidak hanya menyebabkan bulu harimau berwarna putih. Namun juga membuat mata mereka berwarna biru.
Harimau Bengal putih konon pernah ditemukan di alam liar meski sangat jarang. Keberadaannya pernah tercatat di subkontinen India pada 1500-an silam.
Kini, harimau putih hanya bisa ditemukan di penangkaran atau kebun binatang. Jumlahnya juga terbilang sedikit.
Masa Lalu Penggarap Taman Nasional Gunung Leuser
Balik ke Sucipto. Sosok berkumis dan gemar bertopi ini merupakan eks perambah hutan TNGL yang telah bergabung dalam Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK), program andalan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Dulu, Sucipto berprofesi sebagai seorang sopir. Sebagian besar hidupnya nyaris habis di jalanan. Namun semua berubah saat pandemi Covid-19 melanda.
“Saya dulu sopir. Tapi karena Covid-19, tidak ada kerjaan lagi. Setelah itu saya datang ke sini, karena bingung mau ke mana lagi mencari makan,” kata Sucipto.
Sumber penghasilan Sucipto mampet di tengah desakan kebutuhan hidup yang terus mengalir tanpa kenal kompromi. Pada masa-masa sulit itu, Sucipto memeroleh tawaran menggiurkan.
Dengan iming-iming keuntungan besar, Sucipto terbuai untuk menggarap hutan yang sejatinya masih berada dalam kawasan TNGL. Dengan kata lain, aktivitas Sucipto dilarang alias ilegal.
Nasib Sucipto akhirnya berubah setelah bergabung dalam program KTHK Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Seperti ribuan jiwa lain yang terlanjur merambah dan menggantungkan hidup dari TNGL, aktivitas Sucipto kini diakui dan dilegalkan pemerintah, namun dengan berbagai syarat dan ketentuan. Antara lain dilarang memperluas area hutan yang telah kadung dirambah.
Di tempat ini, anggota KTHK hanya boleh menanam dan mengelola jenis tumbuhan tertentu yang masuk dalam kategori Multi Purpose Tree Spesies (MPTS). Seperti mangga, kemiri, durian, alpukat, cengkeh, nangka, jambu, petani dan lainnya.
Pemerintah akan mengevaluasi izin pengelolaan hutan yang dipegang para kelompok tani secara berkala setiap lima tahun sekali. Jika dianggap tidak memenuhi kesepakatan, maka izin pengelolaan kelompok tani bisa dicabut oleh otoritas terkait.
Kelompok Tani Hutan Konservasi
KTHK merupakan program Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertujuan mencegah praktik perambahan terus meluas sekaligus memulihkan ekosistem.
Pada November 2021 lalu, setidaknya ada 16 kelompok tani yang tergabung dalam program KTHK di Resor Sekoci TNGL, Desa Sei Lepan, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Di sini, terdapat 600 kepala keluarga yang sudah mengantongi akses kelola hingga 1.000 hektare.
Pada periode yang sama, sudah tercatat 40 KTHK di seluruh kawasan TNGL. Mereka tersebar di beberapa daerah di Sumatera Utara dan Aceh. Yakni di Kabupaten Langkat, Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues.
Ada lebih 3.000 hektare lahan yang telah ditetapkan sebagai wilayah pemulihan ekosistem. Program ini sudah menyasar 1.500 lebih kepala keluarga.
Penerapannya melibatkan multipihak. Termasuk lembaga donor Tropical Forest Conservation Action for Sumatera atau TFCA-Sumatera.
TFCA merupakan skema pengalihan utang untuk lingkungan alias debt-for-nature swap yang dibentuk Pemerintah Amerika Serikat bersama Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus utang luar negeri Indonesia senilai hampir US$30 juta selama delapan tahun.
Sedangkan Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran utang tersebut melalui satu rekening khusus.
Uang itu dipakai untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan perbaikan hutan tropis Indonesia. Skema ini merupakan perdana bagi Indonesia.
Solusi Konflik Tenurial di Indonesia
Program KTHK merupakan produk Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI semasa dipimpin Wiratno. Yang bersangkutan kini sudah purnatugas.
Menurut Wiratno, KTHK merupakan inovasi dari hasil analisa panjang terhadap persoalan kompleks konflik tenurial di Indonesia.
Dia yakin kemitraan konservasi merupakan jalan tengah untuk memulihkan ekosistem tanpa merugikan siapapun. Setidaknya dalam menghentikan laju perambahan.
Dari sekitar 27 juta hektare hutan konservasi, menurut Wiratno, 1,8 juta hektare di antaranya telah rusak.
Menurutnya, praktik-praktik perusakan seperti penebangan pohon dan perburuan satwa dilindungi merupakan bagian dari gejala atau simptom. Sedangkan core problem sesungguhnya adalah kemiskinan.
“Saya kira ini jalan tengah yang bagus dan terbaik untuk Indonesia, melihat kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dan situasi sejarah penetapan TNGL,” kata Wiratno pada 7 November 2021.